Senin, 28 November 2016

Penyelarasan Tasawuf menurut Al ghazali dan Al sirhindi

1.2.3 Penyelarasan Terhadap Tasawuf
Penyelarasan Tahsawuf dengan Syariat Menurut Al-Ghozali dan Al-Sirhindi
a. Menurut Al-Ghazali
Menurut Al-Ghazali, ajaran tasawuf yang dikembangkan adalah ajaran tasawuf yang menekankan pada penyucian qalbu, yaitu dengan cara mematahkan hambatan-hambatan jiwa serta membersihkan diri dari moral yang tercela, sehingga kalbu lepas dari segala sesuatu selain Allah dan selalu mengingat Allah. Ia berpendapat bahwa sosok sufi menempuh jalan kepada Allah, perjalanan hidup mereka adalah yang terbaik, jalan mereka adalah yang paling benar, dan moral mereka adalah yang paling bersih. Sebab, gerak dan diam mereka, baik lahir maupun batin, diambil dari cahaya kenabian.
Dalam susunan kitab Ihya ‘Ulum al-Dien karya Al-Ghazali, tergambar pokok pikiran Al-Ghazali mengenai hubungan syariat dan tasawuf. Yakni sebelum mempelajari dan mengamalkan tasawuf orang harus memperdalam ilmu tentang syariah dan aqidah terlebih dahulu. Tidak hanya itu, dia harus konsekuwen menjalankan syariah dengan tekun dan sempurna. Karena dalam hal syariah seperti sholat, puasa, dan lain-lain, di dalam ihya’ diterangkan tingkatan, cara menjalankan shalat, puasa, dan sebagainya. Yakni sebagai umumnya para penganut tasawuf dalam ihya’ dibedakan tingkatan orang shalat antara orang awam, orang khawas, dan yang lebih khusus lagi. Demikian juga puasa, dan sebagainya. Ia memberikan contoh praktek syariah yang kosong akan nilai tasawuf maka praktek itu tidak akan diterima oleh Allah dan menjadi sia-sia. Sebaliknya praktek tasawuf yang meninggalkan aturan syariah Islam maka praktek itu akan mengarah pada bid’ah. Ibarat syariah adalah tubuh makan nilai-nilai tasawuf adalah jiwanya sehingga antara keduanya tidak dapat dipisahkan.
Di sisi lain, ajaran Al-Ghazali sebenarnya merupakan perpaduan antara syariah dan tasawuf. Keduanya dilebur menjadi paduan yang saling melengkapi dan saling mengisi. Nilai-nilai pokok yang ada pada tasawuf diwujudkan dalam bentuk amal Ibadah dalam tataran syariah. Harmonisasi inilah yang akan membentuk kepribadian Muslim yang kamil dihadapan Allah dan para manusia.
Jadi, menurut Al-Ghazali bahwa hubungan antara tasawuf dan syariah yaitu tasawuf tidak akan ada kalau tidak ada syariah dan syariah tidak akan tumbuh subur dan berbuah lebat kalau tidak ada tasawuf. Dan untuk mencapai tasawuf harus dilakukan penyucian batin terlebih dahulu dalam bentuk melakukan amal Ibadah yang sungguh-sungguh menurut syariah. Sehingga dapat menjadi manusia yang baik di sisi Allah dan manusia.
b. Menurut Al-Sirhindi
Umat manusia untuk menjauhi kepercayaan yang salah dan bid’ah, melaksanakan syariah serta mentaati sunnah Rasul. Ia juga tidak membedakan antara bid’ah yang baik (hasanah) dan bid’ah yang buruk (dhalalah). Baginya, setiap bid’ah adalah sesat.
Ada sebagian orang berpendapat bahwa syariah itu hanyalah titik tolak menuju ma’rifat dan ketika sudah mencapai tasawuf maka ia terlepas dari syariah, karena menurut mereka syariah itu hanya untuk orang awam. Pandangan seperti ini ditolak oleh Al-Sirhindi. Ia berpendapat bahwa antara syariah dan tasawuf itu menyatu, tidak bisa dipisahkan. Syariah adalah bentuk lahir dari tasawuf dan tasawuf adalah bentuk batin dari syariah. Mereka yang menyatakan bahwa syariah berlaku untuk orang awam dan tidak bagi orang khusus, maka mereka telah melakukan bid’ah tersembunyi dan kemurtadan
Jadi, menurut Al-Sirhindi ketika sudah mencapai tingkat tasawuf, maka tidak akan lepas dari syariah, karena antara tasawuf dan syariah saling berkaitan. 

0 komentar:

Posting Komentar

 

fentriyani's blog Design by Insight © 2009